Minggu, 27 November 2016

TADZAKUR BUKANLAH TAFAKUR

TADZAKUR BUKANLAH TAFAKUR

BAGI seorang ulul albab proses pembelajaran agama ini bukan hanya soal tafakur, melainkan juga soal tadzakur. Tafakur adalah berpikir secara logis dan rasional dengan mengikuti kaidah-kaidah ilmiah. Sedangkan tadzakur adalah merasakan ketersambungan jiwa kita dengan Allah saat berinteraksi dengan-Nya, ataupun saat melakukan berbagai aktivitas keseharian.

Perpaduan antara berpikir dan berdzikir itulah yang menjadikan seorang ulul albab bisa memperoleh hikmah dari berbagai peristiwa yang dialaminya secara maksimum. Yang demikian ini berkali-kali diinformasikan di dalam Al Qur’an, bahwa hanya orang-orang yang beragama secara ulul albab sajalah yang bakal bisa mengambil pelajaran secara maksimum dari ayat-ayat Allah yang terhampar di alam semesta,maupun di dalam kitab suci.

QS. Ar Ra’d (13): 19, ‘’Maka, apakah orang yang mengetahui (berilmu) bahwa apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar, sama dengan orang yang buta (tidak berilmu)? Hanya orang-orang yang berakal (ulul albab) sajalah yang dapat mengambil pelajaran.’’

Orang-orang yang berakal adalah orang-orang yang berpotensi memperoleh ilmu yang luas dan mendalam. Luasnya ilmu itu disebabkan dia berpikir secara ilmiah untuk mengeksplorasi segala eksistensi dan peristiwa di alam semesta, sedangkan kedalamannya diperoleh dengan cara tadzakur, menyelami realitas secara spiritual, menghubungkan diri ke segala realitas dalam frekuensi keilahian.

Frekuensi keilahian adalah frekuensi jiwa dimana kita bisa selalu terhubung dengan Allah sebagai sumber dari segala frekuensi yang mewujud di sekitar kita. Jika setiap saat, kesadaran kita hanya terisi oleh harta benda, maka jiwa kita akan berada di ‘arasy kebendaan. Frekuensi materialistik. Jika setiap waktu kesadaran kita terisi oleh ambisi-ambisi kekuasaan, maka ‘arsy jiwa kita akan berada di frekuensi keserakahan. Jika setiap hari kesadaran kita hanya berisi dengan kedermawanan untuk menolong sesama, maka ‘arsy jiwa kita berada di frekuensi sosial. Dan seterusnya, jika kesadaran jiwa kita selalu terisi oleh Allah, maka frekuensi jiwa kita akan berada di frekuensi ilahiah.

Inilah sebenarnya yang disebut ‘dekat’ dengan Allah itu. Mendekat kepada Allah sebenarnya tidak bisa dimaknai secara jarak. Karena, Allah dan kita, memang tidak terpisah oleh jarak. Allah sudah menegaskan hal itu lewat firman-Nya, bahwa sesungguhnya antara kita dan Dia tak berjarak sama sekali. Yang dalam istilah Al Qur’an disebut sebagai: ‘lebih dekat daripada urat leher kita sendiri’.

Tentu saja, itu bermakna tak ada jarak antara kita dengan Allah. Karena, antara kita dengan urat leher saja jaraknya nol. Bagaimana pula kita menggambarkan sesuatu berjarak lebih dekat daripada nol? Sesungguhnya, kita telah ‘terendam’ di dalam-Nya. Tak ada jarak yang memisahkan, karena kita adalah ‘sebagian kecil’ saja dari eksistensi Sang Maha Agung.

Istilah ‘sebagian kecil’ itu memang bisa menimbulkan salah persepsi, seakan-akan makhluk adalah miniatur dari Allah. Tuhan dalam ukuran kecil. Sehingga zat makhluk sama dengan Zat Allah. Tentu saja bukan demikian cara memahaminya. Karena, kalau demikian cara berpikirnya, kita akan terjebak kepada membendakan Tuhan. Padahal Dia tak menyerupai apa pun yang pernah ada dalam persepsi kita. Laisa kamitslihi syaiun.

Istilah ‘sebagian dari’ itu tidak selalu menunjuk kepada zat yang sama. Jika kita mencuil kayu, maka zat yang ada di cuilan itu tentu saja sama dengan kayunya. Tetapi, kalau kita memisahkan unsur karbon dari kayu itu, maka unsur karbon tersebut bukanlah kayu. Sudah berbeda dengan asalnya. Meskipun unsur karbon itu adalah ‘bagian’ dari kayu. Demikian pula, ketika kita memisahkan energi dari sebuah benda. Misalnya, dengan cara memecah inti atom uranium, sehingga menghasilkan energi nuklir. Maka energi nuklir itu adalah ‘bagian’ dari keberadaan inti atom uranium tersebut, namun energi nuklir bukanlah inti atom uranium.

Lebih jauh lagi, kita bisa menyebut dimensi ruang dan waktu adalah bagian dari penyusun alam semesta, tetapi dimensi ruang dan waktu itu bukanlah alam semesta. Demikian pula, materi dan energi adalah bagian dari alam semesta, tetapi keduanya bukanlah alam semesta. Dan seterusnya, kita bisa membuat analogi yang semakin kompleks dan bahkan menyentuh kegaiban.

Bahwa, kegaiban adalah bagian dari eksistensi alam semesta, tetapi kegaiban bukanlah alam semesta. Ketiadaan dan keberadaan pun adalah bagian dari eksistensi alam semesta, tetapi jika diambil salah satunya, ia tidak mewakili alam semesta. Begitulah dengan keberadaan kita di dalam Zat Allah, kita adalah bagian dari eksistensi Diri-Nya, tetapi kita bukanlah Dia. Allah Maha segala-galanya, sedang kita adalah makhluk yang sedemikian lemahnya.

Maka, jika seseorang selalu berpikir tentang Allah, dan kemudian memenuhi kesadarannya dengan segala hal tentang Allah sampai merasa sedemikian dekat dengan-Nya, sesungguhnya dia telah melakukan dzikrullah. Bangun tidur ingat Allah, mandi ingat Allah, makan ingat Allah, bekerja ingat Allah, berkendara ingat Allah, shalat dan berdoa ingat Allah, berpuasa ingat Allah, dan seluruh aktivitas kesehariannya sampai menjelang tidur kembali selalu ingat Allah, maka itulah orang-orang yang disebut sedang bertadzakur. Ia sedang membangun kesadaran untuk selalu dekat dengan-Nya. Dalam ayat berikut ini digambarkan sebagai orang yang selalu ingat kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk, maupun berbaring.

QS. Ali Imran (3): 191. ‘’(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, atau duduk, ataupun berbaring, dan mereka berpikir tentang penciptaan langit dan bumi (sampai berkesimpulan): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.’’

Bahkan, masalah tadzakur ini, tidak hanya difirmankan dalam bentuk kalimat berita seperti dalam ayat di atas, melainkan juga dalam bentuk kalimat perintah agar kita selalu melakukan dzikrullah dalam keadaan berdiri, duduk maupun berbaring, sebagaimana ayat berikut ini. QS. An Nisaa’ (4): 103, ‘’Karena itu apabila kamu telah menyelesaikan shalat, (segeralah) ingat Allah (dalam segala keadaan) di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring...’’.

Nah, orang-orang yang sudah bisa mengisi kesadarannya secara simultan untuk selalu bertafakur dan bertadzakur inilah yang dibangga-banggakan Al Qur’an sebagai orang yang akan mencapai substansi beragama. Tidak hanya terjebak kepada ritual belaka, namun sudah meresap ke dalam seluruh jiwanya, menghasilkan kualitas spiritual yang luas sekaligus sangat mendalam..! Wallahua’lam bissawab.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Koment Para Sahabat